Divided Government

Divided Government dipahami sebagai adanya dua kekuasaan oleh partai yang berbeda. Misalnya eksekutif (melalui Pilkada langsung) dimenangkan oleh partai A, padahal Legislatif (anggota DPRD) mayoritas dikuasai oleh partai B.

Hal tersebut bisa terjadi sebagai konsekuensi dari system pemilihan langsung kepala daerah yang memilih orang, bukan partai. Figur calon pimpinan kepala daerah yang lebih dilihat daripada partai yang mengusungnya. (Contoh lebih jelas adalah SBY yang terpilih jadi presiden, padahal Partai Demokrat tidak mayoritas di Senayan)

Divided Government berpotensi membuat konflik antara Kepala Daerah dan DPRD. Pemerintah seringkali tidak bisa berjalan efektif karena dibutuhkan sinergi yang baik diantara keduanya. Kekuasaan Legislatif masih sangat besar terutama dalam fungsi Legislasi (dalam membuat Perda), fungsi Anggaran (menyetujui atau menolak rancangan APBD yang dibuat oleh Eksekutif) dan fungsi Pengawasan (mengawasi pelaksanaan Perda, kebijakan daerah, pelaksanaan APBD).

Dalam fungsi pengawasan, DPRD memiliki hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Hak-hak tersebutlah yang seringkali menyebabkan munculnya konflik antara Kepala daerah dan DPRD di Divided Government karena partai pendukung kepala daerah tidak mempunyai kursi mayoritas di DPRD.

Bayangkan jika Calon Independent alias tidak diusung oleh Parpol yang memenangkan Pilkada.

Apa solusinya agar tidak konflik? Seringkali yang diterapkan adalah pola Bagi-Bagi Kekuasaan. (Contohnya SBY yang mengangkat menterinya dari beragam Partai). Di daerah, paska pilkada sering kali diikuti mutasi kepala dinas-kepala dinas untuk bagi-bagi kekuasaan. Atau memberikan kenaikan gaji, tunjangan dan fasilitas kepada Legislatif atas usul Kepala Daerah melalui RAPBD agar DPRD tidak kritis. (Pola ini bisa juga terjadi di DPR RI lho, dimana kenaikan gaji, tunjangan dan fasilitas dalam RAPBN, atas usul pemerintah, tetapi selalu dianggap salah oleh rakyat, hehe, karena ya, yang menyetujui kan DPR juga. Memang ada orang yang bisa nolak rezeki?)

Potensi konflik paska pilkada langsung, tidak hanya terjadi antara Legislatif-Eksekutif seperti yang rentan terjadi pada Divided Government. Juga rentan terjadi konflik dengan Parpol (elit politik), birokrasi, NGO/LSM, dan massa.

Sekarang ini, demokrasi seolah-olah sudah selesai dibicarakan ketika sistem pemilihan langsung sudah terbangun. Padahal paska pemilu, sangat rentan konflik. Dan tahukah, bahwa harga untuk meminimalisir konflik tersebut seringkali tidak murah. Kepala Daerah umumnya mengalokasikan anggaran untuk anggota Legislatif dengan tujuan agar rancangan APBD diterima oleh DPRD.

Jika itu yang terjadi, bukan check and balances seperti yang seharusnya, tetapi malah melahirkan korupsi bersama…

0 comments:

Post a Comment