Budaya Politik Unggul

Meruangkan budaya unggul dalam alam politik Indonesia sepertinya menjadi pekerjaan rumah yang besar, rumit, dan menuntut banyak pengorbanan. Budaya unggul sebenarnya adalah mitos etika politik.

Sayang, sejarah etika politik kita kerdil dan selalu terjebak dalam episteme ekonomi dan kekuasaan. Justru kedua episteme ini menjadi penghalang bagi lahirnya sebuah budaya unggul. Kalau politik diartikan sebatas ini, maka yang muncul bukannya budaya unggul, tetapi budaya konsumtif dan arogansi.

Akibat lebih lanjut kedua budaya ini adalah lahirnya tindakan dengan prinsip teleologis. Artinya, tujuan menghalalkan cara, yang oleh Yves Michaud disebut sebagai politik porno.

Budaya unggul

Ketika memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku Stephen R Covey, The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyinggung soal pentingnya menumbuhkan budaya unggul sebagai identitas dan budaya nasional (Kompas, 15/12/ 2005). Budaya unggul didefinisikan sebagai semangat dan kultur untuk mencapai kemajuan dengan cara kita harus bisa, kita harus berbuat yang terbaik.

Definisi ini jelas masih terasa abstrak dan mentah karena belum punya daya operatif. Supaya lebih nyata dan tidak spekulatif dalam mengartikan budaya unggul ini, maka budaya unggul perlu dikaitkan dengan budaya politik. Budaya politik oleh Gabriel Almond dan Verba diartikan sebagai dimensi psikologis dari sistem politik. Dengan demikian, budaya politik mencakup perilaku, kepercayaan, tata nilai, dan keterampilan yang berkembang di seluruh bidang kehidupan masyarakat. Jelas di sini yang menjadi target budaya politik itu adalah subyek yang berbudaya dan yang punya kompetensi. Almond dan Verba yakin semua orang dengan kemampuannya dapat berperan serta asalkan diberi kesempatan. Namun, seandainya kesempatan menjadi monopoli orang-orang yang haus kekuasaan dan harta, jangan harap budaya dan politik yang unggul akan lahir di bumi pertiwi ini. Budaya dan politik unggul tidak bisa tidak menuntut ketulusan dari kita semua dalam berperan serta.

Budaya unggul juga hanya bisa dicapai kalau etika politik juga memainkan peranan di dalamnya. Segala tindakan yang tercela dan kasar terjadi karena visi etika politik kabur. Karena visinya kabur, misinya pun kabur. Kalau kedua-duanya kabur, mudah saja etika politik diterjemahkan secara subyektif sehingga muncul etika subyektif, kelompok atau institusi, dan bukan etika sosial. Tak heran kalau derajat artikulasi politik Indonesia sering terempas dan koyak.

Demokrasi

Almond dan Verba lebih lanjut mengaitkan budaya dan politik unggul itu dengan kemapanan sebuah demokrasi. Baginya, budaya dan politik unggul hanya bisa dicapai ketika demokrasi mendapat tempat yang utama dalam hierarki politik. Budaya politik yang demokratik ini menyangkut suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, dan persepsi yang menopang terwujudnya partisipasi. Demokrasi dalam arti ini adalah meruangkan hadirnya orang lain untuk berandil, berperan serta menyumbangkan kompetensinya.

Budaya dan politik yang unggul akan memiliki tingkat legitimasi yang tinggi karena legitimasi itu diperoleh dari partisipasi politik yang demokratik di mana semua masyarakat dilibatkan dalam kegiatan politik. Partisipasi politik ini penting sehingga demokrasi dirasa tidak menjadi barang mewah bagi kelompok tertentu, khususnya rakyat kecil. Tidak boleh menihilkan partisipasi politik rakyat. Rakyat adalah kata kunci demokrasi itu sendiri.

Singkatnya, budaya dan politik unggul hanya bisa berjalan dalam keterjalinan. Keterjalinan ini oleh filsuf Michel Foucault disebut sebagai "strategi kekuasaan". Filsuf Perancis yang kontroversial, pencuriga, dan menjadi pionir bagi lahirnya filsafat postmodernisme ini begitu menekankan perlunya kerja sama dan saling menyokong dalam membangun sebuah politik kekuasaan. Bagi Foucault, budaya dan politik unggul hanya bisa dicapai ketika tiap-tiap kekuasaan berjalan dalam rel yang sama dan perlu adanya kohesi sosial yang kenyal.

Pemikiran Foucault ini dilatarbelakangi pandangannya tentang kekuasaan, yakni kekuasaan itu tersebar dan tidak dapat dilokalisasi pada satu kekuatan saja. Menafikan posisi-posisi lain dalam berpolitik menjadikan politik itu sendiri pincang dan menebar konflik. Politik hendaknya menjadi perekat sosial dari berbagai elemen bangsa. Maka, membangun demokrasi demi sebuah budaya dan politik yang unggul mengandaikan adanya partisipasi dan sumbangsih keterampilan dari berbagai kalangan.

Bagaimana dengan perkembangan demokrasi kita di Indonesia? Apa esensi demokrasi kita? Fakta membuktikan bahwa demokrasi kita pada masa Orde Baru dibangun dengan setengah hati, ber-episteme ekonomi dan kekuasaan. Dan kini di era reformasi, demokrasi pun dipahami baru sebatas kebebasan berpendapat. Kita memaknai demokrasi baru sebatas representasi hak- hak politik.

Padahal, demokrasi dalam arti ini barulah satu sisi. Sisi yang lain adalah komunikasi dan dialog agar selalu tercapai kompromi. Kita harus mengakui bahwa komunikasi politik kita masih sangat lemah. Yang kita lihat adalah saling mengumpat, menyalahkan, menang sendiri, dan tidak mau dengar yang lain. Yang sering terjadi adalah perdebatan wacana, bukan sebuah komunikasi untuk mencari solusi.

Polarisasi politik dalam alam demokrasi seperti ini akan mempersulit komunikasi karena orang selalu menaruh curiga dan mau menang sendiri. Orang berlomba- lomba untuk menjadi yang pertama dan berkuasa. Kalau ini yang terjadi, aspek kebebasan dalam demokrasi akan diterjemahkan secara dangkal karena berorientasi pada kebebasan pribadi dan melupakan aspek sosialnya. Dengan demikian, demokrasi kita menjadi rapuh dan rentan terhadap berbagai penyimpangan.

Kalau demokrasi kita didominasi dengan sikap-sikap seperti ini, mustahil untuk membangun sebuah budaya dan politik unggul. Membangun demokrasi yang sehat demi mencapai budaya dan politik yang unggul seperti yang diharapkan oleh Presiden Yudhoyono adalah tanggung jawab kita semua sebagai warga negara Indonesia. Politik yang demokratis, yang menempatkan kepentingan umum menjadi yang utama dalam hierarki nilai, akan menjamin sebuah pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan lainnya.

Kesanggupan Yudhoyono untuk merangkum dan memfungsikan berbagai elemen masyarakat kiranya menjadi prasyarat bagi lahirnya budaya dan politik unggul. Yudhoyono juga sangat diharapkan bersikap tegas menyikapi berbagai problem politik sebagai bias dari konflik kepentingan yang kesemuanya itu sangat menyengsarakan rakyat. Karena politik, menurut Presiden Bolivia yang baru, Evo Morales, adalah "ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari rakyat". Sementara di Indonesia, politik diartikan secara pragmatis, yakni ilmu merebut kekuasaan.

Sanggupkah kita menghapus penderitaan rakyat yang sepertinya tidak pernah menepi dengan mengubah paradigma politik kita? Politik itu rakyat!

Dony Kleden Mahasiswa Program Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Kompas - Opini, 28/02/2006
Sumber: Mirifica.

0 comments:

Post a Comment