Calon Independen Dalam Pilkada


Calon Independen Versus Partai Politik





Lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kejutan. Kali ini enam hakim konstitusi membuka kesempatan bagi calon independen untuk berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah melalui putusan MK atas hasil uji materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Tengah, Lalu Ranggalawe.

Dalam siaran pers, MK menyatakan pasal-pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam undang-undang tersebut, antara lain, Pasal 56 ayat 2, yang berbunyi, "Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik"; Pasal 59 ayat 1 sepanjang mengenai frase "yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik"; Pasal 59 ayat 2 sepanjang mengenai frase "sebagaimana dimaksud pada ayat 1"; Pasal 59 ayat 3 sepanjang mengenai frase "partai politik atau gabungan partai politik wajib", frase "yang seluas-luasnya" , dan frase "dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud".

Pasal-pasal tersebut, menurut Ranggalawe, hanya memberikan hak kepada partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan/ mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta sama sekali menutup peluang pasangan calon independen. Ranggalawe juga mengaitkan dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 67 ayat 1 huruf d UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh [UU Pemerintahan Aceh]).

Ini bukan keputusan pertama dari mahkamah yang bertugas menguji aturan perundang-undangan. Pada 21 Desember 2004, MK memutuskan penerbitan peraturan presiden soal kenaikan harga bahan bakar minyak dengan menggunakan referensi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan menggunakan mekanisme pasar, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK menyatakan kandungan norma hukum yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi telah mengalami perubahan, termasuk norma yang berkaitan dengan penetapan harga bahan bakar minyak.

Pada 22 Maret 2006, MK mengabulkan gugatan Persatuan Guru Republik Indonesia, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, dan Yayasan Nurani Dunia soal anggaran pendidikan minimal 20 persen. Pemerintah diwajibkan mematuhi amanat UUD 1945 soal alokasi anggaran pendidikan ini.

Ada beragam tanggapan atas keputusan yang menghebohkan jagat perpolitikan nasional ini. Mereka umumnya terbelah dua, pro dan kontra. Kebanyakan para penggiat partai politik memandang sinis keputusan ini. Pasalnya, hak monopoli pengajuan calon pejabat politik dari pusat sampai daerah, yang selama ini mereka genggam, ikut terkoyak.

Para politikus formal ini yakin terhadap salah satu argumentasi akademik yang menyatakan bahwa institusionalisasi politik menjadi syarat mutlak dalam membangun sistem politik yang demokratis.

Institusi yang dimaksud adalah partai politik. Sesuai dengan kodratnya, lembaga ini adalah organisasi yang menghasilkan politikus untuk kemudian memproduksi kebijakan-kebijakan politis sesuai dengan landasan idiil yang diamanatkan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Kekukuhan keyakinan ini dibuktikan dengan pengakuan konstitusi negara. Atas dasar ini pula, cibiran atas amar putusan MK mereka sampaikan.

Namun, sebaliknya, orang-orang yang tak banyak terlibat dalam dunia kepartaian tapi melek politik justru menganggap keputusan ini adalah bukti bahwa demokrasi berjalan dalam sistem politik Indonesia. Model presidensial tidak steril dari calon pemimpin politik nonpartai.

Bahkan Amerika Serikat, dengan pelaksanaan model yang sama, mengakui calon independen ini. Artinya, ijtihad politik kekinian tidak mengharamkan mekanisme pencalonan pejabat politik tingkat daerah.

Selain itu, alasan nonyuridis menjadi pemicu munculnya kegembiraan atas putusan MK itu. Kristalisasi kekecewaan atas perilaku politikus partai yang sering dicap tak beretika menjadi penyulutnya. Salah satu kasus terbaru yang dianggap menjadi aib politik adalah soal mahar yang ditarifkan kepada para pelamar calon kepala daerah oleh partai politik.

Meski realitas partai politik dianggap buram, dan di sisi lain para penggiat partai politik sendiri menganggap keputusan MK sebagai biang gembosnya organisasi yang susah-payah mereka dirikan, saya melihat justru buah gugatan Lalu Ranggalawe ini merupakan harapan dan tantangan. Kawan-kawan sesama penggiat partai politik mestinya tidak reaksioner terhadap putusan tersebut. Apalagi jika secara emosional malah ingin mengebiri kewenangan MK. Saya menganggap bahwa ini momentum terbaik agar orang-orang partai politik memulihkan citra diri dan organisasinya yang sudah dinilai karut-marut.

Harus diakui, salah satu persoalan mendasar akibat monopoli peran partai politik adalah membuat kader-kadernya, yang diproyeksikan menjadi politikus tangguh dan peka terhadap keinginan rakyat, tidak berkembang. Secara kodrati, sistem pengkaderan seharusnya mampu mencetak calon-calon pemimpin. Kenyataannya, elite partai lebih memilih nonkader untuk bertarung memperebutkan jabatan politik. Sialnya, individu yang secara urut kacang mengikuti pengkaderan itu justru terjebak menjadi calo-calo politik.

Kondisi ini berlangsung selama bertahun-tahun. Korupsi, suap, manipulasi, dan praktek kotor lainnya muncul akibat mekanisme monopoli tersebut. Rangkaian persoalan ini kemudian menjadi rantai lingkaran setan yang harus segara diputus. Saya yakin, jika mekanisme calon independen ini sudah berjalan, dan masyarakat lebih menginginkan kandidat pemimpin politik di luar partai, seperti hasil survei LSI, partai politik akan lebih termotivasi untuk membangun citra baik.

Selain itu, kawan-kawan di partai politik harus melihat pengalaman di Amerika Serikat, yang membuktikan bahwa calon independen belum tentu meraih hati masyarakat. Hanya George Washington yang sukses sebagai calon independen dan didapuk sebagai Presiden Amerika Serikat. Artinya, harapan besar masyarakat yang menyambut baik dibukanya keran calon independen masih harus diuji terlebih dulu.

Kita masih harus menunggu mekanisme teknis calon independen ini. Ketua DPR Agung Laksono memperkirakan revisi terbatas terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 baru akan rampung awal 2008. Saya berharap, jika mekanisme pemilihan pemimpin dibuat secara kompetitif, mimpi akan munculnya pemimpin yang baik untuk negeri besar ini akan mendekati kenyataan.

Semoga.

Penulis: Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional DPR

Sumber: Koran Tempo - Selasa, 07 Agustus 2007

0 comments:

Post a Comment