Good Governance Di Masa Transisi

Dua tahun pasca perjanjian damai pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Kini tiba waktunya bagi kita menelisik peran yang seharusnya dilakoni pemerintah di masa transisi—baik transisi politik, ekonomi dan transisi demokrasi. Apa sebenarnya tantangan dalam masa transisi ini?

Lima foktor penting menjadi ukuran melihat Aceh sekarang. Pertama adalah berkenaan dengan fairness yang sering disebut sebagai kewajaran prosedural. Kedua, adanya transparency sebagai bagian keterbukaan dari sebuah sistem. Ketika, disclosure sebagai pelengkap kinerja. Empat, accountability sebuah keharusan pertanggungjawaban public, dan kelima responsibility yaitu kepekaan menangkap aspirasi masyarakat secara luas.

Lima factor urgent menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan, jika pemerintah Aceh di bawah Irwandi-Nazar ingin melepaskan diri dari masa transisi politik, ekonomi dan demokrasi yang sedang berlangsung. Menjadi tolak ukur ketika pemerintah ditantang mewujudkan perdamaian permanen dan demokrasi yang terbuka. Aceh dengan segala perbedaannya mungkin sebuah kewajaran yang terus dilakoni menjadi daerah percontohan yang berlanjut bagi daerah lain.

Untuk itu, alangkah baiknya kalau kita melihat sistem maupun pertanggungjawaban public sebagai pondasi good governace di masa transisi ini. Misalnya sistem hukum yang lemah pada masa lalu merupakan sejarah kelam negeri ini membangun kepercayaan masyarakat. Sehingga berbagai benturan terjadi hingga menjadi konflik pada level antar kelompok, antara mereka yang menguasai dan mereka yang dikuasai. Dalam hal ini saya menyarankan pemerintah Irwandi untuk membangun prana (institution building). Ini juga berkenaan dengan ketegasan hukum soal pelaku korupsi tentunya.

Dalam kapasitas pemerintah transisi ini, melalui institutional reform atau institusional building, baik secara politik, ekonomi, hukum dan birokrasi pemerintahan. Secara hukum, adanya perangkat hukum dan lembaga pengawasan yang ketat, adanya keberanian dan kemandirian aparatur dari penegak hukum atau aparatur pengawasan serta adanya penegakan HAM secara konsisten.

Kenapa itu penting? Ada banyak lembaga pengawasan semisal BPK. Namun pada kenyataannya tidak berjalan. Kasus pembangunan terminal di Kabupaten Pidie menjadi ukuran penting ketika elemen sipil meminta tranparansi audit keuangan yang mencapai 16 miliar. Namun hingga kini transparansi informasi yang diharapkan tak kunjung datang. Sehingga mega proyek 16 miliar belum ada kejelasan status, baik secara hukum maupun politik.

Penegakan Hak Asasi Manusia juga bagian dari kepercayaan korban kepada pemerintah. Meski kita tahu, bahwa ada banyak kelemahan-kelemahan hukum dalam penegakan HAM di Aceh. Namun korban jauh lebih berharap ada kebijakan yang lebih mengarah kepada korban. Ini merupakan ketegasan pemerintah untuk memberi keadilan secara hukum kepada korban.

Mengingat ada banyak kelemahan pada masa sebelumnya, maka masa transisi ini juga harus ada upaya-upaya yang dapat meningkatkan kemampuan pada sistem peradilan, melakukan perubahan pada administrasi, meningkatkan kemampuan pada lembaga perwakilan rakyat serta adanya pendidikan hukum lanjutan dan pengujian berkenaan disiplin profesi hukum itu sendiri.

Kalau dari sisi politik, jika kita ingin melihat liberalisasi politik awal ini, maka tidak selalu berhasil oleh sebuah pemilu untuk membentuk pemerintahan baru yang kemudian masuk ke masa transisi. Begitu juga dengan masa transisi sekarang di bawah kepemimpinan mantan kombatan dan tokoh gerakan sipil ini. Tidak ada garansi masa transisi ini berhasil mengantar kita ke suatu pencapaian untuk melakukan konsolidasi demokrasi, meski ada tahap-tahap yang harus dijalankan sebelumnya.

Dalam mewujudkan itu maka pemerintah perlu melakukan langkah yang tepat. Termasuk menyiapkan peluang demokratisasi dan menutup ruang otoritarian. Sehingga pada masa transisi ini ada tabiat baru dalam kehidupan masyarakat. Secara politik juga bagaimana membentuk masyarakat yang terus menjadi control atas kebijakan pemerintah.

Dimana masyarakat yang sudah menjadi warga negara tidak menjadi masa yang terus meneror. Namun harus menjadi warga negara yang mendesak untuk terus menuntut hak-haknya. Jika demikian, maka ini merupakan kesadaran warga untuk melawan jika haknya dilanggar. Jika sudah begini, maka pemerintah harus melihat kesadaran masyarakat ini sebagai bagian dari teman dalam membangun good governace, bukan sebagai musuh yang harus dikekangi.

Karena tanpa pelibatan partisipatif masyarakat mewujudkan good governance, maka masa transisi pasca konflik dalam membangun Aceh akan jauh dari harapan. Memaksimalkan keterlibatan dalam setiap kebijakan pemerintah di Aceh adalah subuah keharusan yang perlu dilakukan. Bagaimana pengalaman sebelumnya ketika gerakan sipil dipaksa bungkam, meski tujuannya mewujudkan pemerintahan yang baik. Inilah yang diharapkan masyarakat sipil pada pemerintah transisi, jika keberlangsungan transisi politik dan demokrasi ini berjalan demi pembangunan Aceh yang lebih baik.

Mungkin dua tahun terlalu dini menilai pemerintah Irwandi bisa keluar dari masa transisi politik dan demokrasi ini. Namun upaya yang harus terus dilakukan tentunya menjadi ukuran tersendiri bagi keberlangsungan kemajuan Aceh ke depan. Saya yakin Irwandi akan melakukan ketegasan berkenaan dengan good government semisal memberi tindakan kepada aparatur pemerintah yang terlibat korupsi.

Kemudian langkah lain juga perlu dilakukan pemerintah Irwandi dengan berbagai macam transparansi kebijakan menyangkut dengan public. Hal ini sebagai bagian dari meminimalkan kecurigaan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah secara umum. Jika transparansi terus dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai control social, maka konsolidasi demokrasi untuk sebuah wacana membangun Aceh bukan cet langet.

Karena ini juga merupakan bagian dari meminimalisir konflik social dalam masyarakat yang pada ujung-ujungnya adalah tersendatnya pembangunan ekonomi secara menyeluruh di Aceh. Masyarakat bukan hanya menanti perubahan, tapi juga ingin mengetahui perubahan yang sedang dan akan berlangsung. Di samping ada upaya cerdas melakukan penyaringan aspirasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak.

Krisis kepercayaan juga diwujudkan masyarakat kepada lembaga penegak hukum. Hal ini sesuai dengan tingkah penegak hukum sendiri yang sangat tidak adil dalam melakukan tindakan hukum. Masa transisi ini juga langkah awal memberi pengetahuan-pengetahun kepada penegak hukum untuk tetap berada pada karidor hukum yang telah digariskan. Ketegasan hukum dan kesadaran hukum dari aparat penegah hukum sedang ditunggu.

Disamping lembaga penegak hukum, lembaga peradilan juga harus diisi oleh orang-orang yang professional, karena ini sebuah tantangan menuju globalisasi. Dan terakhir, legislative dapat berperan dalam memberikan pelayanan untuk melakukan penelitian yang memberi informasi kepada masyarakat secara benar dan akurat. Legislative juga harus punya komitmen dalam mengelola aspirasi masyarakat dengan baik dan serius.

Kita berharap, masa transisi ini benar-benar menjadi era baru dalam penegakan hukum yang adil terhadap masyarakat, pengembalian sumber daya manusia yang handal, penyaringan aspirasi masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan, pelayanan public yang professional serta penegakan hukum secara adil. Hingga Aceh menjadi daerah dengan sistem good governace yang selalu dibanggakan di masa transisi pasca konflik.

Oleh: Andi Firdaus.
*) Direktur Center for Humanitarian and Social Empowerment (CHSE) Aceh

0 comments:

Post a Comment