Intrik Good vs Bad Governance

Jika Anda berbicara dengan pakar keuangan mana pun, apalagi pengamat ekonomi, tentang isu penyelamatan Bank Century, akan muncul banyak versi dan sudut pandang.

Termasuk ketika Anda meminta pemilahan yang jelas terkait dengan turunan kasus dari penyelamatan Century, jawabannya juga akan macam-macam, tergantung kaca mata masing-masing.

Satu praktisi keuangan mengatakan kasus itu harus dipilah tiga bagian, yakni pengawasan Bank Century sebelum diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan, alasan kebijakan pemerintah menyelamatkan Century, dan pengelolaan Century setelah diambil alih LPS.

Ekonom lainnya mengemukakan pandangan berbeda, meskipun sama-sama memilah ke dalam tiga bagian, yakni Bank Century di bawah manajemen lama dalam kendali Robert Tantular, kebijakan bailout bank itu, lalu pencairan dana oleh LPS.

Ada pula yang memilah kasus Century dalam tiga episode. Pertama, periode sebelum bank itu diselamatkan (sejak proses merger, saat dalam pengawasan Bank Indonesia, dan perilaku Robert Tantular dan manajemen lama dalam mengelola bank itu). Kedua, kebijakan penyelamatan (bailout) bank itu sendiri, lalu ketiga adalah aliran dana setelah bank tersebut diselamatkan, atau ke mana saja duit pasca-bailout mengalir.

Bagi saya, keragaman cara melihat persoalan penyelamatan Bank Century itu menunjukkan friksi yang tajam bahkan dalam disiplin yang sama, untuk melihat konteks dan duduk persoalan penyelamatan Century secara benar.

Sebab di dalamnya ada sejumlah implikasi, baik dampak profesional maupun efek politik. Itu yang menjadikan cara pandang berbeda-beda, tergantung pada kepentingan masing-masing.

Ada sudut pandang yang didasari kepentingan politik untuk mengungkap -kalau ada-aktor intelektual dalam aliran dana penyelamatan bank itu ataupun pihak-pihak yang diuntungkan. Juga terdapat pandangan dengan latar belakang kepentingan profesional, yang cenderung membenarkan kebijakan bailout karena alasan teknis dan situasi saat itu.

Sebaliknya terdapat cara melihat adanya kesalahan prosedur kebijakan atau proses yang kurang proper karena informasi dalam pengambilan keputusan tidak lengkap, tidak up-to-date, bahkan-bisa jadi-tidak akurat. Sayangnya, ada juga pandangan spekulatif berlatar belakang kepentingan lainnya, termasuk 'balas dendam'.

Gambaran besar

Dalam gambaran besar, helicopter view, ketika kasus ini kemudian melebar ke mana-mana, dapat dikatakan magnitude penyelamatan Bank Century yang heboh pada mulanya dan pada akhirnya bermuara pada pertarungan antara bad governance versus good governance.

Akibatnya, penyelesaian kasus Century pun hingga hari ini tampak berliku dan penuh intrik.

Apalagi kemudian banyak bumbu yang mencuat ke permukaan, terutama setelah pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengenai 'ketidakharmonisan' dengan Aburizal Bakrie, yang dianggapnya sebagai salah satu faktor politik di balik kasus ini.

Juga asumsi Menteri Keuangan bahwa Partai Golkar-sebagai salah satu aktor dalam hak angket, yang bahkan politisinya menjadi ketua Pansus Angket Century-tidak akan berlaku adil kepadanya.

Ini semua menambah noise dalam kasus itu, termasuk kemudian dugaan percakapan Menkeu dengan Robert Tantular saat rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang dilansir Bambang Soesatyo, salah satu politisi Golkar.

Tak kurang, Wakil Presiden Boediono, yang bersama Menkeu dianggap paling bertanggung jawab atas kebijakan bailout ketika masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, memberikan keterangan langsung pada Sabtu dan Minggu lalu untuk mendudukkan persoalan yang sebenarnya atas dugaan percakapan yang dilansir Bambang itu.

Intinya, keduanya membantah adanya percakapan Sri Mulyani dengan Robert dalam rapat KSSK tersebut. Orang yang oleh Bambang diduga sebagai Robert, kemudian terungkap adalah Marsilam Simandjuntak, yang saat itu menjabat ketua Unit Kerja Presiden (UKP) untuk pengendalian reformasi.

Klarifikasi tersebut, sengaja atau tidak, mengungkap informasi lain, yang kemudian diasumsikan banyak pihak bahwa kasus Century kian mengarah kepada Istana dengan keberadaan Marsilam.

Drama ini menyiratkan kepada kita bahwa kemelut kasus Century kian berlarut-larut, lantaran ketidakjelasan dari awal mengenai kebijakan penyelamatan bank itu, yang kebetulan timing-nya menjelang pemilihan umum. Banyak dugaan, terjadi pendomplengan-pendomplengan, meskipun kemudian dugaan-dugaan itu dibantah.

Berbeda dengan kasus Bibit-Chandra yang dapat dimengerti secara gamblang oleh publik sebab-akibat kasus itu, penyelamatan Bank Century sulit dipahami di mata masyarakat luas secara teknis maupun hubungan sebab-akibatnya.

Karena itulah, kita berkepentingan untuk mendesak agar kasus Century diselesaikan seterang dan segamblang mungkin. Barangkali akan sangat membantu jika Pansus Hak Angket Century dapat memperjelas duduk perkara kebijakan bailout, aliran dana dari bank itu, serta track record Century termasuk pengawasannya pada masa lalu.

Sebaliknya, jika kasus Century dibiarkan berlarut-larut, kita khawatir akan terus menjadi ajang spekulasi, saling serang, bahkan ajang balas dendam politik. Jika hal itu terjadi, tentu berdampak tidak sehat dalam kehidupan politik dan bisnis di Tanah Air.

Seorang adviser investor dari beberapa perusahaan besar Malaysia mengatakan kepada saya, "kita ini sekarang menunggu seperti apa ending kasus Century."

Eksekutif sebuah perusahaan besar Indonesia, yang produknya banyak dijual ke mancanegara, juga mengatakan," kita buang waktu karena kasus ini tidak selesai-selesai. Saya tidak penting siapa yang menjadi nakhoda...tetapi kepastian stabilitas ini yang kita perlukan."

Intinya, pelaku bisnis pun mulai menunggu dan melihat perkembangan situasi politik saat ini. Mereka mulai mengerem rencana bisnis sambil menunggu kepastian kemelut politik ini. Kalau itu yang terjadi, sayang sekali momentum pemulihan ekonomi dan kepercayaan bisnis yang telah dilalui Indonesia selama semester kedua tahun ini. Momentum itu bisa kempes lagi.

Transparansi & disclosure

Banyak pertanyaan yang muncul kemudian, sejauh mana seharusnya peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan kasus ini. "Where is the President?" Itu pertanyaan yang diajukan dengan bekernyit dahi oleh seorang ekonom, dalam sebuah diskusi hampir tengah malam.

Presiden memang sudah berkali-kali membantah dugaan-dugaan bahwa keluarganya dan terutama putranya, serta kegiatan kampanyenya pada pemilu Juli silam, terkait dengan aliran dana penyelamatan bank itu. Dugaan-dugaan itu, katanya, adalah fitnah yang kejam.

Namun, saya sebenarnya ingin pernyataan lebih firm lagi. Saya berkhayal, akan lebih tenang rasanya jika Presiden bilang: "Yes, ini adalah kebijakan pemerintah, di mana saya yang bertanggung jawab, karena para menteri menjalankan mandat kabinet yang saya tugaskan."

Sebab, ketika kampanye lalu, prestasi keberhasilan ekonomi menjadi klaim kampanye yang luar biasa intensif dan massive.

Kita ingin transparansi dan, meminjam istilah Mar'ie Muhammad, full disclosure dari pucuk pimpinan negeri ini. Tak perlu rasanya kita mendengar setiap saat bantah-bantahan dan saling klarifikasi antara para elite dan pembantu presiden. Apalagi saling klarifikasi untuk sebuah isu yang secara kasat mata dan kategorial sulit untuk mengambil persepsi yang lain, karena memang begitu adanya yang terjadi. Tak perlu pula kemudian kita menilai bahwa kasus Century ini adalah pertempuran antara "bad versus good" governance.

Namun, sayangnya bukan itu yang terjadi saat ini, sehingga melahirkan aneka informasi yang ditafsirkan dari macam-macam persepsi. Sekadar contoh, adalah polemik mengenai kehadiran Marsilam Simandjuntak dalam rapat KSSK 21 November itu.

Menurut Wimar Witoelar, yang mendampingi Menkeu saat konferensi pers membantah percakapannya dengan Robert Tantular, "Soal Marsilam adalah isu sampingan."

Sekretaris KSSK Raden Pardede mengatakan Marsilam datang, "....diminta Presiden untuk bekerja sama dengan KSSK." Lalu menurut notulen rapat tanggal 21 November itu, "..Pak Marsilam sebagai UKP yang memang diminta oleh Bapak Presiden untuk bekerja dengan KSSK..."

Menurut Menteri Keuangan, ketika mengklarifikasi pemberitaan soal kehadiran Marsilam, "tidak mewakili Presiden tetapi diundang sebagai narasumber seperti yang lainnya [untuk memberikan pandangan hukum]."

Terserah persepsi Anda mengartikan kalimat-kalimat itu. Jangan sampai, dalam situasi yang rasanya tidak transparan ini, "public tend to expect the worst." Dan yang mesti dipahami saat ini, masyarakat kita sudah semakin pintar. Seperti keyakinan dalam industri informasi, adalah dosa besar, "if you are bias...it's insulting the intellectual capacity of your readers.


Oleh: Arif Budisusilo.

0 comments:

Post a Comment