Jabatan Politik Daerah

Kualifikasi dan Kompetisi dalam Perebutan Jabatan Politik [1]



Mohammad Najib [2]





PEMILU 2009 tinggal 130 hari lagi. Pemilu tersebut merupakan cara damai dan demokratis dalam memperebutkan jabatan publik. Dalam Pemilu tersebut akan mempere-butkan kursi DPR, DPD dan DPRD. Tiga bulan setelah Pemilu Legislatif tersebut akan dilaksanakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Awal tahun 2010 akan kembali digelar Pemilu Gubernur, Bupati dan Walikota yang pelaksanaannya sesuai jadwal berakhirnya periode jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan. Kesemua Pemilu tersebut merupakan bagian dari panggung pentas politik di Indonesia yang menampilkan episode perebutan kursi kekuasaan.

Ada perbedaan karakteristik antara perebutan jabatan politik dan jabatan karier di pemerintahan. Jika recruitment jabatan karier di pemerintahan memerlukan syarat keahlian dan kecakapan khusus sesuai dengan bidang kerja yang akan dikelola, maka recruitment jabatan politik kurang mempertimbangkan aspek kapasitas dan kualifikasi calon. Hal itu karena pada perebutan jabatan politik lebih mementingkan aspek akseptabilitas politik serta popularitas, ketimbang pertimbangan aspek kecakapan teknis dan kualifikasi calon. Atas dasar realitas tersebut jabatan politik juga tidak mempersyaratkan adanya penjenjangan yang tegas atas kualifikasi calon sesuai hierarkhi struktur jabatan politik yang diperebutkan. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika ada banyak kasus bahwa pendidikan dan kapasitas calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota lebih tinggi dibanding calon Anggota DPRD Provinsi atau bahkan DPRRI. Pada saat yang sama juga dapat dipermaklumkan jika ada kasus bahwa pendidikan dan kualifikasi calon Bupati/Walikota, lebih baik ketimbang Calon Gubernur atau bahkan Calon Presiden.



Latar Belakang Calon


Jika dalam aspek pendidikan, bagi politisi yang ikut dalam bursa pencalonan jabatan publik tidak mengenal persyaratan yang ketat, maka latar belakang pekerjaannyapun tidak ada aturan secara rigit. Syarat standard bagi tingkat pendidikan bagi bakal calon untuk semua jabatan politik tersebut hanyalah SMA dan sederajat. Ketika undang-undang Pemilu Presiden dibahas, baik UU No 23 Tahun 2003 maupun UU No 42 Tahun 2008 ada keinginan sekelompok politikus di parlemen yang menghendaki persyaratan calon Presiden minimal S1 agar dapat dihasilkan Presiden terpilih yang berkualitas. Namun dalam kenya-taannya kemudian disyahkan dengan memberlakukan syarat hanya SMA dan sederajat. Hal yang sama juga pernah digagas untuk lembaga perwakilan di level pusat (DPR), yang pernah ada keinginan untuk memberlakukan persyaratan yang lebih tinggi daripada DPRD, namun putusan undang-undang akhirnya memberlakukan syarat yang sama, yakni cukup dengan ijasah SMA dan sederajat.[3]

Pada Pemilu 2004 yang lalu ada sekelompok LSM di DIY yang menghendaki pemberlakuan syarat calon Anggota DPRD di DIY setara dengan S1 agar dihasilkan lembaga perwakilan yang lebih berkualitas. Bahkan juga ada yang menghendaki agar ada proses fit and proper test terhadap caleg. Namun karena undang-undang Pemilu berlaku umum dan tidak memungkinkan KPU Provinsi DIY memberlakukan persyaratan pendi-dikan dan mekanisme pencalonan Anggota DPRD DIY secara berbeda dengan ketentuan undang-undang, maka syarat pendidikannya tetap SMA dan sederajat dan fit and proper test tetap tidak dapat dilaksanakan. Dalam prakteknya banyak calon Anggota DPRD DIY yang hanya sekadar lulus SMA dengan prestasi (nilai) yang minimal. Bahkan masih juga ditemu-kan banyak calon Anggota DPRD yang hanya mempergunakan ijasah Kejar Paket C.

Sementara dari aspek latar belakang pekerjaan, banyak calon Anggota DPRD DIY maupun DPRD Kabupaten/Kota atau bahkan DPR, yang mencantumkan wiraswasta sebagai pekerjaan. Dalam banyak hal pencantuman wiraswasta sebagai pekerjaan tersebut hanyalah sebagai kamuflase untuk tidak menyatakan bahwa yang bersangkutan hanyalah seorang pengangguran atau setidaknya kerja srabutan. Atas dasar realitas itulah adalah sebuah keniscayaan jika kemudian ditemukan banyak pejabat politik yang latar belakang pekerjaan saat sebelum menjabat sama sekali tidak mendukung kemampuan untuk bekerja sebagai pejabat politik.[4]



Kesiapan untuk Terjun di Dunia Politik


Jika dalam aspek persyaratan pendidikan dan latar belakang pekerjaan tidak ada persyaratan standard, maka juga tidak ada kesiapan standard yang diperlukan bagi seseorang untuk terjun di dunia politik. Terlebih lagi kini ada cukup banyak partai politik peserta pemilu, yang masing-masing tentu saja memiliki mekanisme dan memberlakukan persya-ratan yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan internal partai politik. Hal itu karena mekanisme recruitment caleg, atau calon kepala daerah atau bahkan calon Presiden diserahkan pada mekanisme internal partai politik (atau gabungan partai politik untuk Pemilu Kepala Daerah atau Pilpres). Perbedaan perlakuan pada caleg tersebut khususnya antara kelompok Partai Politik yang sudah mapan dan memiliki peluang untuk meraih kursi dalam Pemilu 2009 di satu sisi, dan perlakuan oleh Parpol yang relatif tidak jelas masa depannya di sisi lain.[5]

Meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang bakal calon DPR, DPRD, Kepala Daerah maupun Presiden harus memiliki uang dalam jumlah yang cukup besar. Uang tersebut tidak hanya disetor ke Parpol sebagai dana operasional Parpol (dalam peme-nangan Pemilu), namun juga untuk keperluan operasional masing-masing caleg. Dengan pemberlakuan sistem pemilu proporsional terbuka, yang mana masing-masing caleg harus saling bersaing tidak hanya antar caleg lintas Parpol, namun juga antar caleg dalam satu Parpol, agar dapat memenangkan Pemilu sehingga mampu meraih kursi DPR/DPRD. Konsekuensinya membuat dana politik yang diperlukan oleh masing-masing caleg relatif besar. Hal itu karena masing-masing calon secara harus mengelola mesin politik secara mandiri untuk pemenangan pemilu.

Pada saat yang sama para kandidat untuk semua jabatan publik tersebut harus memiliki kesiapan mental dalam memasuki gelanggang pentas dunia politik. Hal itu karena panggung pentas politik sangat sarat dengan kekerasan, fitnah dan ketidakpastian. Sehingga hanya "orang-orang perkasa" saja yang mampu bertahan di dunia seperti itu. Atas dasar itulah kemudian banyak warga negara yang memiliki kapasitas dan uang yang cukup tidak bersedia untuk bergelut di dunia politik praktis. Keenggapanan para tokoh perempuan untuk masuk di dunia politik juga karena dipicu oleh iklim kerja di partai politik yang kurang kondusif bagi kalangan yang biasa bekerja secara professional dan menjunjung tinggi norma dan aturan. Terlebih lagi bagi tokoh perempuan yang sudah mapan, dunia politik adalah momok yang harus dijauhi karena dianggap dunia tersebut terlalu bias maskulin.

Pada saat yang sama, adanya kecenderungan nepotisme di kalangan pengurus Parpol dalam recruitment politik, tidak saja dalam proses pencalonan legislatif tapi juga dalam pembentukan kepengurusan Parpol, membuat sirkulasi elite dan distribusi kekuasaan hanya terjadi di kalangan terbatas. Pada kalangan "darah biru" elite Parpol inilah yang paling bisa menikmati dinamika politik di Parpol akibat adanya konsesi, dispensasi dan hak istimewa yang diterimanya akibat nasab mereka sebagai keturunan "darah biru" elite Parpol. Sementara bagi kalangan warga biasa akan mengalami kesulitan untuk masuk dalam lingkar dalam elite Parpol yang sekaligus memiliki nasib baik sebagai caleg yang potensial terpilih karena men-dapatkan "nomor cantik" dalam penomoran Caleg dalam DCT.



Kompetisi dan Peluang Terpilih


Dalam struktur politik, semakin tinggi jabatan politik, semakin tinggi tingkat per-saingan untuk memperoleh jabatan tersebut. Dalam konteks masyarakat DIY, dengan jumlah pemilih dalam Pemilu 2009 sebesar 2.736.637 hanya memperebutkan 4 kursi DPD, 8 kursi DPR, 55 kursi DPRD Provinsi dan 220 kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di 5 Kabupaten/Kota. Dengan data tersebut dapat dilihat rasio antara jumlah pemilih dengan jumlah kursi yang diperebutkan dari proses Pemilu yang sangat timpang. Demikian juga untuk Pilpres, Pemilu Gubernur dan Pemilu Bupati/Walikota, yang masing-masing hanya memperebutkan satu pasangan calon terpilih untuk sekala nasional, Provinsi dan Kabu-paten/Kota.

Semakin timpangnya rasio antara jumlah pemilih dengan jumlah kursi yang diperebutkan tersebut berkorelasi terhadap tingginya tingkat kompetisi bagi warga negara untuk memperebutkan posisi tersebut. Dalam proses kompetisi tersebut ada dua level persaingan yang harus dilalui. Kompetisi level pertama adalah perebutan untuk menjadi calon lewat partai politik tertentu. Sedangkan kompetisi level kedua adalah kompetisi untuk memenangkan Pemilu. Pada prinsipnya kompetisi di level pertama cenderung berbanding terbalik dengan kompetisi di level kedua. Masing-masing calon memiliki fariasi pilihan; jika ia ingin memiliki potensi untuk terpilih dalam Pemilu, maka ia harus menggunakan "Parpol besar" yang relatif memiliki peluang untuk memenangkan Pemilu. Konsekuensinya, jika "Parpol besar" yang akan dijadikan kendaraan politik, maka pada saat sama akan sangat banyak politisi yang akan mempergunaan jasa "Parpol besar" tersebut untuk mengantarkan dalam pemenangan Pemilu. Akibatnya persaingan untuk menjadi caleg lewat Parpol tersebut maha berat, namun lebih memiliki peluang untuk mendapatkan kursi dalam Pemilu.

Pada saat yang sama sesungguhnya ada sejumlah Parpol yang relatif memberikan keleluasaan bagi warga negara untuk dapat menjadi caleg lewat Parpol tersebut. Bahkan dalam kenyataannya ketika kemudahan diberikan, bahkan secara cuma-cuma kepada warga negara untuk bersedia maju sebagai caleg lewat Parpol tersebut, namun kenyataannya Parpol tersebut tetap kesulitan untuk mendapatkan caleg. Dalam kenyataannya masih cukup banyak Parpol yang tidak selalu memiliki caleg di setiap daerah pemilihan dan kalaupun ada caleg jumlahnya masih sangat minimal. Fakta menunjukkan bahwa rata-rata Parpol level Provinsi di DIY hanya mampu menyetorkan 37% dari jumlah kuota calon yang dapat didaftarkan. Sehingga rata-rata baru sepertiga dari jatah kursi pencalonan yang dapat diisi oleh Parpol. Tentu terdapat variasi soal jumlah caleg yang dapat diajukan oleh masing-masing Parpol, dari mendekati jumlah maksimal untuk beberapa "Parpol besar" sampai mendekati tidak punya calan untuk beberapa Parpol lainnya. Bahkan di level kepengurusan Parpol di DIY ada tiga Parpol yang sama sekali tidak mengajukan daftar caleg.

Terkait persaingan antar caleg untuk meraih kursi, untuk level DPRD Provinsi DIY yang memperebutkan 55 kursi terdapat 606 caleg, sehingga rasionya berkisar 1 : 11. Sedang-kan untuk perebutan kursi di DPRD Kabupaten/Kota yang rata-rata memperebutkan seki-tar 45 kursi, terdapat rata-rata sekitar 500an caleg, sehingga rasionya juga berkisar 1 : 11. Tentu tingkat keterpilihan antar caleg sangat bervariasi, tergantung apa jenis Parpol yang dikendarai dan nomor berapa kursi pencalonan yang diduduki. Semakin besar Parpol yang dikendarai dan semakin cantik (kecil) nomor kursi pencalonan yang diduduki tentu semakin mahal dan kompetitif untuk mendapatkannya. Namun dengan "Parpol besar" dan nomor cantik tersebut merupakan jaminan seseorang untuk menjadi caleg yang terpilih dalam pemilu mendatang.

Kecuali jika masyarakat hanya cukup puas menjadi caleg, hal tersebut dapat dilaku-kan dengan mudah lewat beberapa Parpol yang memberikan kemudahan bagi siapapun yang bersedia menjadi caleg lewat Parpol tersebut. Hanya masalahnya tidak ada jaminan apakah Parpol tersebut akan mampu mengantar caleg untuk terpilih dalam pemilu. Pilihannya sangat tergantung apakah seseorang hanya sekadar ingin menjadi caleg, atau ingin menjadi caleg jadi. Pilihan atas kedua hal tersebut tentu memiliki konsekuensi politik dan ekonomi yang berbeda, serta membawa pada nasib yang berbeda, yakni sukses meraih kursi atau sekadar hanya sukses ikut pemilu. (mnajibjogja@yahoo.com)***



[1] Disampaikan dalam Seminar Regional dengan tema "Popularitas Panggung Politik di Indonesia Bagi Semua Kalangan", deselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Fakultas Sosial dan Ekonomi UNY, pada tanggal 1 Desember 2008.

[2] Drs. Mohammad Najib, MSi adalah Kepala Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Humas dan Data Informasi KPU Provinsi DIY dan Dosen Luar Biasa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

[3] Menurut UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD syarat pendidikan untuk menjadi Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah paling rendah tamat SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang sederajat. (Pasal 50 ayat (1)) Sesuai penjelasan pasal tersebut yang dimaksud "bentuk lain yang sederajat" antara lain SMALB, Pondok Pesantren Salafiah, Sekolah Menengah Teologi Kristen dan Sekolah Seminari. Kesederajatan pendidikan dengan SMA ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah berda-sarkan peraturan perundang-undangan.

[4] Dalam banyak kasus ditemukan banyak Anggota DPRD yang latar belakang pekerjaannya sebagai tukang parkir, tukang tambal ban bahkan preman pasar. Tentu saja latar belakang tersebut tidak mampu menyumbang kemampuan pejabat tersebut untuk dapat bekerja dengan baik selaku pejabat publik.

[5] Jika pada Parpol kelompok pertama bisa memberlakukan tarif yang mahal dan lebih selektif dalam merecruit caleg, maka pada Parpol kelompok kedua relatif mengobral kursi pencalonan dan tetap kesulitan mendapatkan caleg.

0 comments:

Post a Comment