Satire Politik Sang Wayang

Politik di Indonesia memiliki seribu pintu untuk pergulatan tafsir dalam tegangan idealitas dan realitas. Rezim-rezim kekuasaan di Indonesia memiliki jejak kentara dalam historisitas kekuasaan Jawa. Pembaca dan penafsir politik Indonesia bisa gairah dan lelah untuk mengurusi politik melalui jejak-jejak kekuasaan Jawa. Jejak-jejak itu mengalami metamorfosis atau pemutakhiran sesuai dengan arus takdir jaman.

Esai-esai Benedict Anderson (1966 dan 1972) dengan kritis mengabarkan bahwa konstruksi politik Indonesia mengacu pada Jawa. Realisasi paham kekuasaan Jawa tampak eksplisit dalam pemunculan aktor, kesadaran panggung, permainan lakon, atau permainan bahasa politik. Anderson mengakui ada kerepotan epistemologis untuk membaca dan memahami konsep kekuasaan Jawa. Kerepotan itu pun sampai pada penemuan desain esoteris dan eksoteris kekuasaan Jawa melalui mitos, sastra, bahasa, seni, mistik, dan politik.

Wayang menempati peran penting dalam lakon kekuasaan Jawa sebagai kiblat atau referensi politik Indonesia. Wayang adalah jagad kompleks untuk mendedah sekian idealitas dan realitas hidup manusia. Politik menjadi bab primer dalam wayang dengan pelbagai tafsir dan realisasi. Wayang itu politik. Pembacaan dan penafsiran atas wayang dalam ranah politik memang kerap mengejutkan tapi itu kelumrahan dalam biografi politik Indonesia.

Wayang politik

Wayang itu politik menemukan pengesahan dalam proses kreatif dan laku politik Noto Soeroto. Penyair dan aktor politik ini memiliki pergulatan intensif dalam jagad wayang untuk mengartikulasikan pandangan politik pada awal abad XX. Noto Soeroto adalah penyair Jawa tapi menuliskan puisi dengan bahasa Belanda. Penyair ini merupakan cucu Sri Pakualam V dan aktor pergerakan politik pada masa kolonialisme. Noto Soeroto tercatat pernah menjadi ketua Indische Vereeniging (1911).

Kitab puisi puncak dari Noto Soeroto terbit tahun 1931 dengan judul Wayang-liederen (Dendang Wayang). Kitab ini telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa: Prancis, Inggris, Jerman, dan Indonesia. Kitab puisi Wayang-liederen menjadi bukti bahwa wayang adalah kebun persemaian untuk politik dalam konstruksi religius-mistik dalam latar penjajahan Belanda di Indonesia. Kitab itu melahirkan curiga dari Belanda atas kesadaran nasionalisme dan pencanggihan tradisi politik Jawa dalam wayang. Noto Soeroto mahfum bahwa wayang adalah pengucapan fasih untuk mengungkapkan seribu satu perkara kehidupan. Rosa M.T. Kerdjik (2002) menyebutkan bahwa wayang adalah katalogus hidup bagi orang Jawa. Politik menjadi bab penting dan menentukan.

Wayang dengan kerimbunan simbolisme membuat pelbagai perkara sanggup diartikulasikan dengan multiperspektif dan multitafsir. Simbolisme itu kunci eksistensi dan esensi wayang. Simbolisme kerap jadi bayang-bayang dalam tafsir dan tak tuntas dalam ikhtiar penemuan relevansi. Wayang sebagai kebun persemaian politik pun jadi referensi belum usai untuk aktor-aktor politik dan tukang tafsir politik.

Noto Soeroto dalam Wayang-liederen mengungkapkan: “Setiap ksatria merupakan raksasa bagi yang lain dan setiap raksasa karena perbuatannya sama dengan ksatria.” Satire ini merepresentasikan bahwa lakon politik mengandung paradoks, ambiguitas, dilematis, ambivalen, dan kontradiktif. Aktor politik dengan acuan identifikasi dalam tokoh-tokoh wayang kerap membuat lakon politik berada dalam samar atau ambang batas. Wayang sebagai referensi politik pun memberikan kunci-kunci untuk membuka tabir dan mewartakan makna simbolisme untuk estetisasi politik atau politisasi estetik.

Tamsil wayang

Identifikasi pada tokoh wayang merupakan jalan terjal atau labirin untuk aktor politik dalam mengonstruksi diri dengan sekian pamrih dan risiko. Proses identifikasi memang tak bisa komprehensif karena norma-norma realatif dalam wayang. Absolutisme hampir tak mungkin ada dalam proses identifikasi. Satire dari Noto Soeroto itu menjadi contoh atas operasionalisasi dan kodrat wayang. Satire itu mendapati contoh puncak dalam dilema untuk memberi tafsir dan vonis atas tiga tokoh dalam wayang: Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Adipati Karna.

Dilema tiga tokoh itu diungkapkan dengan estetis oleh Mangkunegara IV (1809-1881) dalam Serat Tripama. Siapa ksatria atau pahlawan? Pertanyaan pelik ini susah mendapati jawaban paripurna. Patih Suwanda adalah tokoh pandai, berani, dan menepati sifat keturunan orang utama. Kumbakarna adalah raksasa, memiliki sifat-sifat utama, menepati janji ksatria, dan pembela negara. Karna adalah ksatria, sadar balas budi, dan berani. Identifikasi sifat-sifat itu mengandung pertentangan ketika ada perbandingan dari perspektif berlawanan.

Mangkunegara IV menulis: Katri mangka sudarsaneng Jawi, pantes lamun sagung pra prawira, amirita sakadare, ing lalabuhanipun, aja kongsi mbuwang palupi, manawa tibeng nistha, ina esthinipun, sanadyan tekading buta, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi in kotaman (Tiga pahlawan itu menjadi teladan orang Jawa, pantas untuk semua perwira, mengambil mereka sebagai teladan, mengenai jasa dan bekti, jangan membuang teladan, nanti bisa jatuh jadi hina, rendah keinginan atau cita-cita, raksasa pun tidak berbeda dalam ikhtiar memenuhi takdir sebagai makhluk dengan sifat-sifat utama).

Patih Suwanda, Kumbakarna, dan Karna adalah aktor dalam lakon politik besar. Mereka diidentikkan sebagai pahlawan sesuai dengan kriteria-kriteria dalam konteks ksatria (militer) dan politik. Vonis itu bakal dilematis ketika dihadapkan dengan etika normatif. Kumbakarna adalah raksasa dari Ngalengka dan setia pada Rahwana ketika perang melawan Rama. Karna lawan tanding dengan saudara sendiri di kubu Pandawa. Tokoh atau aktor selalu dihadapkan pada pilihan dan konsekuensi. Dilema itu menjadi tanda tanya dan tanda seru untuk membaca lakon politik dalam wayang dan lakon politik Indonesia.

Aktor politik ideal adalah aktor tulen dan istiqomah dalam pengabdiam atas nama kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Aktor pun rentan untuk oportunis dan pragmatis. Pilihan-pilihan dalam lakon membuat aktor membuat kalkulasi atau penilaian objektif-subjektif untuk pertaruhan harga diri atau pamrih. Tokoh-tokoh wayang menjalani lakon dalam tegangan takdir dan kehendak bebas. Takdir menjadi kecenderungan besar karena ada anutan untuk mengisahkan hidup dalam dikotomi atau oposisi biner. Takdir itu tak bisa dikatakan mutlak sebagai fatalisme.

Eksplorasi atau eksploitasi

Wayang sampai hari ini belum usai jadi referensi. Representasi jagad wayang dalam politik Indonesia mutakhir tampak dalam bahasa. Benedict Anderson (1966) mencatat bahwa bahasa politik Indonesia ramai dengan pemakaian istilah dari jagad pewayangan: dalang, mendalangi, lakon, gara-gara, perang tanding, jejer, atau Bratayuda. Bahasa-bahasa itu jadi imaji politik untuk memberi narasi atas tokoh dan peristiwa. Bahasa politik itu memiliki acuan dan efek dalam melenakan atau memprovokasi publik. Bahasa jadi penentu untuk legitimasi aktor politik dalam memainkan peran sesuai kompetensi dan penciptaan imaji.

Wayang pun jadi alat dan juru bicara politik. Sejarah Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bahwa wayang sanggup melegitimasi penguasa atau aktor politik. Pertunjukan wayang diintervensi dengan pesan-pesan politik. laku estetika menjelma menjadi laku politis karena pertunjukkan wayang ditundukkan oleh kekuasaan atau uang. Wayang sebagai tontonan dan tuntunan tak bersih dari politik. Aktor-aktor politik pun fasih mengucapkan khotbah-khotbah dari jagad wayang dan melakukan identifikasi diri pada tokoh-tokoh pilihan.

Wayang terus mendapati babak sambungan dalam lakon politik mutakhir. Dalang mulai melakukan metamorfosa menjadi aktor politik. Para aktor politik menjelma jadi dalang di parlemen, partai politik, atau institusi negara. Lakon politik pun ramai dengan imaji-imaji wayang. Simbolisme mengalami pembesaran dan pelipatgandaan dalam transaksi politik. Banalitas wayang jadi rasionalisasi untuk hasrat kekuasaan dan pencapaian utopia politik. Wayang menjelma godaan untuk aktor-aktor menciptakan lakon politik. Wayang belum usai dieksplorasi dan dieksploitasi?

Oleh Bandung Mawardi
Sumber: Bentara Budaya

0 comments:

Post a Comment