CATATAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA

Pilihan politik bagi Indonesia untuk memilih demokrasi sebagai alat telah memberikan sejumlah kemajuan, baik secara struktural maupun kultural. Diantaranya terwujudnya ranah aturan yang ada dan dinamika model yang dipakai dalam negara telah terwujud model transparansi, akuntabilitas, wacana keadilan dan partisipasi publik dalam pembangunan sosial ekonomi bagi paradigma pembangunan.

Distribusi kekuasaan politik, administrasif, fiskal dan pembangunan ekonomi ke daerah juga telah diciptakan sebagai upaya menangani kemajuan dan kesenjangan antar daerah.
Disamping itu tuntutan perombakan tata pemerintahan Indonesia menuju konsep yang dianggap lebih baik (good governance) di bawah desain demokratisasi, telah menjadi kesadaran bersama. Pada aras negara, birokrasi level pusat hingga daerah-daerah berniat merefurmulasi peran dan fungsinya. Perlemen sebagai institusi strategis penyeimbang jalannya kekuasaan eksekutif melakukan agenda-agenda revitalisasi, lembaga yudikatif merintis kepercayaan melalui visi independensi, dan demikian pula kebangkitan partai politik memberikan jaminan saluran aspirasi penting dewasa ini.

Secara teoritis, prinsip pemerintahan yang baik dan bersih ditandai; oleh beberapa aspek misalnya, partisipasi, transparansi; dan akuntabilitas. Partisipasi, diartikan dengan keterlibatan aktif warga dalam proses pengambilan kebijakan. Sebelum kebijakan itu ditetapkan , maka pemegang otoritas politik harus menperhatikan suara rakyat sebagai pertimbangan dasar, tanpa kecuali. Sementara transparansi menyangkut keterbukaan proses politik, dimana informasi berkaitan kepentingan publik dapat diakses siapapun. Di dalamnya menyangkut aturan main (rule of the game), materi atau substansi yang diatur, serta implikasi kebijakan. Konsep kontrol, dimaknai sebagai urgensi mekanisme pengawasan jalannya pemerintahan sesuai konsensus atau konstitusi, yang menegaskan mengenai batasan wilayah kewenangan. Sedangkan akuntabilitas diartikan sebagai perlunya pertanggungjawaban kebijakan kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan (Bank Dunia, 2002).

Sebagai konsep baru good governance mulai disebarkan sebagai mantra-mantra ‘’mujarab’’ bagi institusionalisasi modernisasi politik pasca otoriter. Di lingkungan negara-negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia misalnya, penyebarannya kian merajalela, bahkan menjadi manifesto politik baru yang kian populer. Dari aspek teorisasi, sesungguhnya banyak perspektif mengenai good governance ini dapat dirujuk, yang ternyata memiliki basis tekanan berbeda-beda. Dari model dengan landasan pada struktur pemerintahan semata, hubungan masyarakat dan negara, sampai dengan yang lebih maju perspektif adalah keseimbangan relasi negara, masyarakat dan market (Bank Dunia, 2002).

Mengkontekstualisasi dan mencari relevansi good governance secara ideal, untuk lokus di daerah sangat penting dilakukan. Meskipun, sejauh ini daerah masih menghadapi kendala yang tidak ringan. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi pemerintahan masa lalu. Sebut saja misalnya, setelah sekian lama sentralisasi dan state corporatism dijalankan oleh pemerintahan orde baru, daerah menjadi tidak berkembang (Mas’oed, 1989). Dalam aspek politik, secara internal, lembaga-lembaga politik daerah dikelola secara integral dalam birokrasi pemerintah, dimana segala fungsi normatif meliputi partisipasi, pengawasan, transparansi dan pertanggungjawaban tidak dijalankan. Akibatnya, merajalela KKN birokrasi dan legislatif, serta birokratisasi membabi-buta mengontrol warganya.

Munculnya regulasi UU No. 22/99 mengenai otonomi daerah kemudian digantikan UU 32/2004, dapat dimanfaatkan sebagai ruang baru mewujudkan otonomi untuk mengatur pemerintahannya secara lebih baik (good governance). Secara konkrit, jarak politik antara pengambil kebijakan dengan rakyat lebih dekat, yang tercermin berupa terbukanya pengakuan hak-hak dan kewenangan daerah untuk merumuskan, menjalankan dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan tanpa adanya intervensi secara sepihak oleh propinsi dan kabupaten. Dengan begitu, maka kecenderungan terjadinya distorsi dalam pembangunan oleh karena dominasi pemerintah pusat kepada daerah dapat dicegah. Sehingga, upaya-upaya strategis untuk menjalankan agenda tata pemerintahan yang bersih dari KKN, akuntabel, efektif melalui skenario good governance dapat dijalankan.

Namun yang terjadi sejak 10 tahun era reformasi dan kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah selama enam tahun pada umumnya, sejumlah persoalan masih menghantui. Mengukur keberhasilan kebijakan, idealnya diletakkan pada kerangka kontinum waktu panjang, tidak hanya sesaat. Misalnya dapat dilihat dari: Pertama, Di level pemerintahan daerah, nampaknya birokrasi sebagai lembaga kunci penyelenggaraan pemerintahan yang bersih masih belum melakukan perubahan mendasar. Kendatipun reformasi memaksa terjadinya perubahan struktur (restrukturisasi) dengan penyesuaian daerah otonom, dimana disadari pemerintahan tidak lagi bercorak korporatis dan sentralistik pada kepemimpinan top executive di tangan bupati/wali kota, tetapi kultur dan tradisi paternalistik yang memposisikan kepala daerah sebagai strong man dan berpengaruh, ternyata masih begitu melekat kuat dan hegemonik.

Kedua, Politisasi birokrasi yang masih cukup kental mewarnai dinamika otonomi daerah. Hal ini, erat kaitannya juga dengan kegagalan hubungan kelembagaan eksekutif dan legislatif, karena proses menguatnya political society. Banyak kasus, kinerja birokrasi terhambat karena "struktur ancaman" yang bersumber dari parlemen. Yang terjadi adalah, patokan birokrasi bukan pada aturan main secara demokratis tetapi, lebih mengikuti selera parlemen. Dengan kata lain birokrasi terabsorsi dalam politisasi parlemen. Disanalah muncul pola baru dari executive heavy (era orde baru) menuju legislative heavy (era reformasi).

Kita tahu, watak birokrasi secara normatis bersifat pelayanan, pengaturan dan fasilitasi. Oleh karena itu, birokrasi seharusnya dilakukan dengan manajemen profesional berpangkal koridor peraturan perundang-undangan, dan kebijakan-kebijakan yang telah disepakati. Catatan pentingnya adalah, patokan dalam bentuk rule of the game yang melandasi kinerja birokrasi tentu harus dilandasi prinsip-prinisp demokrasi, bukan sekadar untuk tujuan strong bereucracy. Ketiga, Oligarkhi dan elitisasi parlemen. Struktur dan watak parpol sejauh ini belum direformasi, yang masih mempertahankan sentralisasi, dominasi dan model-model oligarkhis, serta kepercayaan rakyat terhadap partai politik mulai pudar.

Dampaknya adalah, pola kepartaian itu merembes pada parlemen yang masih menggunakan standardisasi kendali oleh parpol dan munculnya wacana calon tunggal dalam ranah eksekutif dan legislatif. Keempat, Lemahnya partisipasi dan kontrol masyarakat sipil atas kinerja pemerintahan daerah. Sejauh ini, kekuatan kontrol sipil atas penyelenggaraan pemerintahan belurn berjalan secara optimal. Asosiasi kewargaan sebagai bagian civil society belum menjadi kekuatan yang terkonsolidasi dengan baik, yang seringkali terjebak pada dinamika sporadis. Bahkan, lebih jauh keterkaitan masyarakat sipil dengan agenda parlemen tidak pernah bertemu. Proses pengambilan kebijakan, implementasi dan hasilnya sering terlewatkan oleh pantuan publik. Kelima, Penegakan hukum yang lemah, berdampak munculnya distrust pada segala hal (sektor hukum dan kebijakan), sehingga agenda-agenda otonomi daerah mengalami hambatan. Dampak yang serius yakni kegagalan pelembagaan politik, dimana kinerja dan tata pemerintahan tidak efektif, karena seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak.

Gambaran diatas menjadi anomali terhadap perubahan yang seharusnya lebih baik, akan tetapi yang terjadi justru lebih buruk dan tidak terarah. Hal ini sangat nyata antara idealisme yang didengungkan dengan realita yang ada. Perdebatan dan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan masih terindikasi oleh isu korupsi dan ketidakseriusan pemerintah di dalam memberikan pelayanan yang layak kepada masyarakat.


Birokrasi dan politik: Agenda Perubahan

Perubahan yang terjadi di Indonesia juga mengacu pada perubahan global pada umumnya. Era abad 21 menandaskan adanya perubahan peradaban yang menuntut adanya sendi-sendi organisasi sampai pengelolahan negara untuk melibatkan masyarakat secara penuh di dalam pengambilan keputusan, sehingga perubahan tersebut menurut banyak kalangan sulit untuk dihindari dan tetap menjadi perubahan secara menyeluruh.

Dalam perspektif demokrasi dan birokrasi, maka perspektif tata pemerintahan dalam mengelola negara harus bersandar pada enam prinsip utama: Pertama, negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan besar. Kedua, negara bukan lagi sentrum “kekuasan formal” tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik”. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dan “kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to). Ketiga, negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level: “keatas” pada organisasi transnasional; “kesamping” pada NGO dan swasta; serta “kebawah” pada daerah dan masyarakat lokal.

Keempat, negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis. Kelima, negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik. Keenam, penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik.

Keenam agenda itu sebenarnya identik dengan “membawa negara lebih dekat pada masyarakat” yang di dalamnya terdapat ortodoksi penting ide itu: Pertama, memadukan peranan dan kapasitas negara dalam melakukan dan promosi aksi kolektif dalam proses pembangunan politik, transformasi ekonomi dan redistribusi sosial, misalnya dalam konteks pemeliharaan law and order, kesehatan dan pendidikan publik, infrastruktur dasar, dan lain-lain, sesuai dengan tuntutan masyarakat. Kedua, perlunya membangkitkan kapasitas negara lewat penguatan institusi publik. Strategi ini mencakup desain peraturan yang efektif, kontrol terhadap penggunaan sarana pemaksa, pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja institusi-institusi birokrasi negara, perbaikan gaji pegawai, penguatan lembaga peradilan, profesionalisme aparat keamanan, dan lain-lain. Ketiga, memadukan antara kapasitas negara, desentralisasi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara.

Oleh: Suradji.
Sumber: Matapenainstitute.

0 comments:

Post a Comment