Politik Adu Domba


Politik Adu Domba



Pemberangusan gerakan mahasiswa tak ubahnya penolakan hati nurani rakyat jelata. Kata ”maha” menunjukkan sebuah posisi yang berdiri di atas semua tingkatan siswa.

Mahasiswa anak panah yang dilepas dari busurnya yang namanya orangtua. Penguasa yang menghalangi demonstrasi ibarat orangtua kolot yang memaksakan jodoh untuk anaknya.

Hati nurani bangsa ada pada gerakan mahasiswanya. Seperti kata lagu Pemuda karya Chandra Darusman, ”Lihatlah ke muka, keinginan luhur ’kan terjangkau semua”.

Mahasiswa memelopori revolusi 1956 di Hongaria. Gerakan ”New Left” tahun 1950-an yang tersohor itu dimulai oleh mahasiswa Kanada.

Gelombang demo antiperang 1962-1970 di Eropa dan AS memaksa Presiden Richard Nixon menarik pasukan dari Vietnam dan Kamboja. Revolusi Iran 1979 berawal dari demo di kampus-kampus setahun sebelumnya.

Pengorbanan mahasiswa terbukti dari Tragedi Tiananmen 1988 di China. Rezim-rezim militer di Amerika Latin tumbang berkat demo mahasiswa.

Hampir 100 persen sivitas akademika AS mendukung gerakan antikemapanan politik Washington yang ditawarkan Barack Obama. Berhari-hari sudah mahasiswa bergolak di kota-kota besar Indonesia.

Kalau tak ada gerakan mahasiswa 1998, Orde Baru bertahan lebih lama. Demonstrasi mereka pada tahun 1966 mengakhiri kekuasaan Orde Lama.

Mahasiswa ditembaki, diculik, atau disiksa. Juga sudah biasa di negeri ini tak ada yang jantan mengaku bertanggung jawab menembaki, menculik, atau menyiksa mahasiswa.

Pada saat butuh, tokoh-tokoh politik mencatut perjuangan mahasiswa. Setelah berkuasa, mereka memandang demonstrasi mahasiswa dengan sebelah mata.

Tiap penguasa gusar menghadapi ancaman demo karena tak mustahil itu mengakhiri kekuasaannya. Lalu, mereka memainkan ”kaset rusak” yang diulang- ulang yang menuduh ”pihak ketiga”.

Justru gerakan mahasiswa yang bersifat murni itulah yang menjadi ancaman paling bahaya bagi tiap penguasa. Idealisme mereka membuat mahasiswa bagaikan domba yang siap dimangsa siapa saja.

Kini ”mahasiswa abadi” dituduh memukuli aparat keamanan yang usianya sudah tidak muda. Itu berita istimewa karena mahasiswa dikenal bukan golongan yang suka menyakiti hati rakyat biasa.

Kampus dituduh jadi sarang perdagangan dan penggunaan narkoba. Apakah Anda percaya?

Lebih seram lagi di kampus ditemukan sebuah granat nanas, senjata yang amat berbahaya. Betulkah dugaan bahwa granat itu milik mahasiswa?

Acungan jempol untuk langkah penggeledahan Gedung DPR oleh aparat KPK. Juga patut dipuji aparat Kejaksaan Agung yang menggerebek dugaan penyuapan oleh seorang perempuan pengusaha.

Namun, benarkah tindakan penyerbuan kampus yang setiap hari menjadi tempat pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat oleh anak-anak kita? Beginikah moral yang berlaku di republik kita yang tercinta?

Bung Karno memulai perjuangan kemerdekaan sebagai mahasiswa. Untuk meredakan ketegangan sebelum pecahnya Tragedi Malari 1974, Pak Harto mengundang mahasiswa berdialog panjang di Bina Graha.

Mereka yang kurang paham gerakan mahasiswa ibarat orang-orang yang tak pernah menikmati masa muda. Kehidupan kampus bukan semata-mata urusan buku, cinta, dan pesta.

Cobalah Anda tempatkan diri pada posisi mahasiswa. Bagi mereka, kampus seperti pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal untuk sementara waktu saja.

Mereka tidak menuntut kenaikan gaji atau laptop, malah harus membayar uang kuliah yang tiap tahun membubung ke angkasa. Mereka tak terlibat dana BLBI atau korupsi berjamaah.

Toh, setelah lulus mereka mati-matian harus cari kerja. Tak heran mereka sering resah, baik sebagai generasi muda maupun sebagai warga negara.

Mahasiswa malah bisa jadi cermin untuk melihat penderitaan rakyat jelata. Percayalah, pada akhirnya tak satu masyarakat pun yang tidak akan membela perjuangan mereka.

Masih ingat amok rakyat terhadap Pamswakarsa? Sia-sialah mereka yang bersekongkol mau membenturkan kelompok-kelompok oportunis untuk menghadang gerakan mahasiswa.

Semua pihak hendaknya belajar dari negara-negara lain menghadapi krisis politik akibat kenaikan harga minyak dunia. Di Meksiko, BLT sejak dulu jadi obat mujarab untuk meringankan beban rakyat jelata.

Di Inggris, protes kenaikan harga BBM dilakukan sopir-sopir truk yang mogok menyetir kendaraan mereka. Di AS, pemerintah memberlakukan windfall tax atas profit perusahaan- perusahaan minyak raksasa.

Salah satu tugas pemerintah adalah mendengarkan aspirasi rakyat. Tugas penting lainnya, seperti yang dilakukan Pemerintah AS dan Jepang, memberikan subsidi bukan BBM untuk rakyat.

Bagaimana dengan pemerintah kita? Ada kesan para pejabat mempraktikkan komunikasi satu arah saja.

Ada baiknya mereka road show menemui mahasiswa. Saat ini yang diperlukan duduk perkara tentang data, data, dan data pengelolaan migas kita.

”The devil is in the details,” kata pepatah. Bukalah dialog dengan mahasiswa agar tak terjebak dalam politik adu domba alias devide et impera.

Pada akhirnya tiap persoalan ada solusinya. Dan, maaf, saya lebih memercayai aspirasi rakyat yang disalurkan mahasiswa ketimbang aspirasi pejabat, aparat, politisi, atau pengadu domba.

BUDIARTO SHAMBAZY
Sumber: Kompas

0 comments:

Post a Comment