Etika Politik Bangsa

PRESIDEN Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP, baru-baru ini telah memberikan kritik terhadap pers kita. Pers kita, dianggap kurang proporsional. Belum reda reaksi terhadap kritik itu, kembali Ketua Umum PDIP itu mengkritik mahasiswa. Demo-demo mahasiswa sekarang, juga tidak menunjukkan intelegensia yang tinggi.

Memang, dapat dipahami, kalau Ketua Umum PDIP itu memberikan reaksi seperti itu. Demo maupun pemberitaan pers, termasuk karikatur, sering mengganggu rasa kesantunan kita. Demikian juga kata-kata yang digunakan. Tetapi, kalau kita teliti lebih jauh, itulah sebuah fenomena yang sedang kita jalani, sejak beberapa tahun terakhir. Kalau mau jujur, sejak kita memasuki alam reformasi. Mengapa?

Konon, karena kita (sekarang) merasa bebas (demokratis?), seolah-olah apa saja boleh. Kalau kita hendak mengerem keadaan seperti itu, maka pasti orang menuduhnya sebagai "orde baru." Bukankah pemerintahan Mega-Hamzah Haz sekarang ada yang menilai "orde baru"? Bukankah selama 30 tahun kita telah mengalami keadaan yang represif, sehingga semua ekses sekarang ini adalah dampak kebijakan "orde baru." Begitu orang berkata.

Memang, keadaan serba susah. Mengkritisi reformasi bisa dianggap "orde baru." Tidak mengkritisi, kita khawatir, kita terlanjur meluncur ke jurang kehinaan. Cobalah kita renungkan keadaan sekitar kita. Bukankah kekerasan, kesantunan, memang terasa semakin memprihatinkan? Semua itu bisa kita nikmati hampir setiap hari di pers nasional kita. Bahkan, spanduk-spanduk yang terpampang pun, atau iklan di radiopun, sering mengusik rasa santun kita. Semuanya, terkesan semakin dianggap biasa.

Dalam konteks seperti inilah kita bisa memahami kritik-kritik yang disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri. Tidak hanya sebagai Presiden, orang yang paling bertanggung jawab terhadap apa-apa yang terjadi di negeri ini, tetapi juga (mungkin) sebagai seorang ibu.

Kita kemukakan semua itu, apa adanya, tanpa kita bermaksud untuk terlibat dukung mendukung. Harapan kita, seandainya semua itu masih dianggap sebagai ekses, barangkali sudah saatnya kita mencegah terjadinya ekses itu lebih jauh lagi. Semua orang, selayaknya sudah mulai melakukan "otokritik" terhadap perilaku yang keliru atau "kebablasan" itu. Katakanlah, meskipun "orde baru" itu ada salahnya, sampai kapan kita terus menerus menyalahkan "orde baru", tanpa menyadari, bahwa kesalahan itu terletak pada diri kita sendiri? Kalangan pers, elit politik dan juga mahasiswa, sudah saatnya untuk mulai membangun kultur politik yang santun dan demokratis, sehingga perbedaan pendapat di antara kita tidak perlu melahirkan gesekan fisik yang mungkin bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa ini. Kita mintakan perhatian masalah ini kepada semua pihak, oleh karena terasa suhu politik yang semakin memanas. Apalagi, menjelang tahun 2004.

Kritik-kritik yang disampaikan oleh Ketua Umum PDIP itu hendaklah dianggap sebagai kritik bagi kita semuanya, termasuk bagi warga PDIP sendiri, yang dahulu juga pernah melakukan tindak kekerasan, ketika Megawati gagal terpilih sebagai Presiden. Hanya dengan melakukan otokritik yang jujur, kita bisa membangun etika politik yang berbudaya.

Sumber: Harian Umum Pelita.

0 comments:

Post a Comment